“Di lembaga sebesar ini
dengan sumber daya manusia yang tidak terhitung sedikit, masih susah mencari
kader yang bisa dipercaya untuk meneruskan tongkat estafet ini” Perbincangan yang
mengisyaratkan keresahan ini sering saya dengar dari para senior yang
memikirkan keberlangsungan, eksistensi, dan tujuan suatu organisasi. Generasi
penerus atau kader dalam suatu organisasi perlu dipersiapkan dengan matang agar
siap menjalankan amanat tongkat estafet.
Berawal
dari harapan dan kekhawatiran sehingga ada upaya untuk melakukan sesuatu untuk
melakukan perubahan yang positif. Transformasi kapasitas sistem manusia yang berfokus pada penggalian dan pengembangan
kelebihan yang ada pada setiap unsur organisasi, terutama sumber daya
manusianya akan menjadi penggerak
perubahan budaya. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya, manusia butuh dihargai (self-esteem) sebelum pada
akhirnya dapat secara optimal mengaktualisasikan dirinya (self-actualization). Maka,
perubahan budaya kerja akan lebih berhasil apabila menitikberatkan kepada
penghargaan dan diskusi ketimbang menyalahkan (maido dalam Bahasa Jawa), doktrinasi atau agitasi. Jika hal ini
benar-benar diterapkan, maka regenerasi disebuah institusi tidak akan mengalami
keterlambatan.
Sebenarnya jika dilihat dari akar
penyebab masalah, keterlambatan regenerasi suatu institusi tidak hanya dari
faktor siapa yang akan diberi tetapi juga yang akan memberikan tongkat estafet
itu. Terkadang para pemegang tongkat belum mau meninggalkan zona nyamannya,
masih ingin berlama-lama menikmati fasilitas dengan dalih yang seolah-olah
penerima tongkat masih kurang layak atau alasan yang lain. Hmmmm…manusiawi juga
ya. Tapi disadari atau tidak, tidak ada yang abadi di dunia ini. Tidak luput
juga jabatan yang kita duduki atau tongkat yang kita pegang. Jadi, cepat atau
lambat regenerasi adalah suatu keharusan yang tidak dapat dihindari lagi demi
berputarnya roda organisasi.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan untuk mempersiapkan
si penerima tongkat estafet? Berikut adalah opini penulis berdasarkan apa yang
ia ketahui tentang Apreciative Inquiry
ketika mengikuti pelatihan “Pengembangan
Budaya Kerja Positif dan Lingkungan Belajar Kreatif di Sekolah: Appreciative
Inquiry untuk Penumbuhkembangan Karakter
Siswa” yang dilatih oleh ibu Weilin
Han (14-18 Januari 2020), bahwa penggalian potensi sumber daya manusia bisa
dilakukan dengan cara membudayakan hal-hal sebgai berikut: (1) meyakini bahwa
setiap individu pasti punya kelebihan dan kita memaksimalkan kelebihan individu
yang akan dikader tersebut dengan selalu memberi respon positif seperti
apresiasi atau menghargai, memuji, dan memberi masukan sehingga dia akan
termotivasi untuk selalu melakukan peningkatan kompetensi untuk
mengaktualisasikan dirinya; (2) kurangi atau jika bisa hindari kebiasaan
merespon hal negative, misalnya mencibir atau menyalahkan; (3) beri kesempatan
untuk berperan aktif menjalankan roda organisasi sesuai kelebihannya sebagai
proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Sebagai contoh diberikan tantangan
sebagai koordinator kegiatan insidental, atau menjadi ketua sub divisi tertentu
sesuai kompetensinya atau kelebihannya; (4) lebih menghidupkan suasana
kolaborasi daripada kompetisi. Hal ini bisa dilakukan dengan tidak membandingkan
personil satu dengan yang lain melainkan lebih mempertemukan indikator kinerja
kunci atau kriteria sukses suatu kegiatan/proses ; dan (5) Hindari penerapan reward and punishment. Budaya ini akan
menyebabkan seseorang melakukan sesuatu karena motivasi ekstrinsik: ingin
dipuji, ingin di hargai bukan karena dorongan instrinsik untuk aktualisasi diri
dan akan melakukan berbagai cara untuk menghindari konsekuensi yang harus
diambil ketika melakukan kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar